July 02, 2016

July 01, 2016

Arman Dhani: Kapan Nikah?

Friday, July 01, 2016 Posted by Wyldstallyons , , , No comments

Kapan Nikah?

Belakangan saya kepikiran ibu, tentang bagaimana ia bertambah tua, bertambah ringkih, beberapa kali sakit tanpa memberi kabar, juga matanya yang semakin kelelahan. Apa yang lebih menggetarkan perasaan ketimbang rasa khawatir pada seseorang yang kamu cintai?

Seperti dua tahun sebelumnya, saya memutuskan untuk tidak merayakan idul fitri dan pulang ke Bondowoso. Barangkali saya merasa takut, takut jika kemudian saya pulang, memandang mata itu saya memutuskan untuk tidak kembali ke Jakarta. Kamu tahu? Dihantui rasa cinta menggebu untuk berbakti sebagai seorang anak dan menjadi seseorang yang bisa diandalkan orang tua.

Tapi saya tahu, ibu saya tidak akan membahas hal remeh semacam itu. Ibu mungkin akan sesegera mungkin mengusir saya kembali ke Jakarta untuk kembali bekerja. Sambil sesekali mengingatkan untuk tidak pernah lupa berdoa dan sholat. Menegur agar menjaga pola makan dan diet tapi menitipkan berbagai panganan seperti dendeng ragi, abon, orek tempe dalam jumlah besar.

Pulang ke rumah saat lebaran tentu menyenangkan. Ini bukan soal libur, ini soal kembali menyigi akar. Menyesap kembali identitas sebagai "orang daerah". Bagi saya mudik bukan soal lebaran, bukan soal merayakan ibadah, bagi saya mudik adalah perkara menemukan lagi hal remeh yang kamu rindukan tanpa sadar. Seperti teman, makanan, jalan, ruang, waktu, juga pemandangan.

Ini sesuatu yang mahal. Bukan, bukan soal jarak dan harga yang mesti dibayar melalui tiket. Kamu tidak bisa memberi harga pada pengalaman dan perasaan. Tapi kita tahu tidak semua hal sentimentil itu menyenangkan. Ia bisa jadi melukai, terutama, jika kamu mengingat hal yang membuatmu sedih. Kematian, perpisahan, juga jejak ingatan masa lalu.

Pulang ke rumah bagi saya bisa jadi upaya menghadapi yang belum selesai. Menjawab pertanyaan yang enggan saya jawab. Juga hal-hal yang menjadi beban. Belakangan ada yang berubah soal menghadapi beban. Terlebih ketika ibu bertanya tentang "kapan menikah?", belakangan saya menganggapnya sebagai ungkapan sayang ketimbang tuntutan.

Ibu makin tua, ia menyadari bahwa mungkin tak akan lagi dapat mengurus anak-anaknya. Ibu saya, yang keriput, dan selalu menangis ketika berdoa itu, paling gemar merawat anak-anaknya. Ia akan memasak, mencuci, mempersiapkan pakaian untuk anaknya dengan suka cita. Mengomel? Tentu saja.

Pernah saya mencuci baju, tidak bersih benar, dengan muntab ibu mencuci ulang, menyetrikanya, mengomel dari pagi hingga siang. Ibu adalah penguasa rumah. Oh kau boleh mengaku feminis, mengaku mendukung emansipasi, mendukung kesetaraan gender, tapi bagi ibu pekerjaan-pekerjaan itu adalah hidupnya, cintanya, dan seluruh jagat kecil yang ia lakukan sejak kanak-kanak.

Ibu akan marah besar jika kami makan di luar. "Dikira aku tidak bisa masak apa?" begitu terus. Kami anak-anaknya pernah merasakan ini, jadi jika kami ingin makan sesuatu, mesti sembunyi-sembunyi. Bukan, bukan karena ibu galak, kukira karena saya dan kakak yang lain tak ingin ibu terluka.

"Kamu kapan nikah?" katanya lagi. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Ini bukan tuntutan, ini adalah pernyataan sayang. Pertanyaan ini kerap diikuti dengan kata-kata lain seperti. "Carilah istri yang bisa memasak, yang bisa mengurus anak, yang bisa anteng di rumah, yang bisa merawat kamu," katanya.

Bu, saya sedang mencari istri, dan bukan pembantu, bahkan jika punya pembantu, tak akan saya suruh dia bekerja dengan beban berlebihan. Tapi tentu kalian tahu, saya tak mungkin menjawab demikian. Semua saya simpan dalam kepala saja. Saya tak tega mendebat ibu, ia sudah kepalang menderita sembilan bulan merawat saya untuk didebat dengan ilmu pengetahuan yang saya dapat atas biayanya.

Lain hari ibu menawarkan hal yang lain. "Carilah istri yang berjilbab, yang menjaga aurat, yang pintar mengaji, yang ahli ibadah dan bisa membawamu ke surga," katanya.

Bagaimana pula saya mencari istri yang demikian baik? saya sholat saja kerap tidak, mengaji saja tersendat, bertato pulak. Mana ada perempuan demikian baik mau padaku? Jika ada pun tak mungkin sudi menengok, dilirik saja sudah bagus.

Ini juga tak saya utarakan. Ibu bahkan tak tahu saya punya tato.

Saya ingin pulang dan ditanyai kapan nikah. Saya mau ibuku, mungkin juga bu Supik, perempuan yang merawat saya sejak kecil bertanya tentang dengan siapa saya akan menikah. Perempuan hebat mana yang saya cintai. Mungkin saya akan menceritakan kamu, mungkin juga tidak. Mungkin saya hanya ingin memeluk ibu, Bu Supik dan juga keponakan-keponakan saya yang lain.

Saya terlalu bahagia dan rindu untuk dipusingkan negativitas, kepahitan, dan juga rasa marah untuk merespon pertanyaan kapan nikah dengan jawaban ketus. Mungkin dulu saya akan marah, tapi tidak sekarang, tidak hari ini. Saya tahu mereka mencintai saya, ibu, paman, juga saudara tua yang brengsek itu juga akan bertanya kapan menikah.

Dulu saya pikir pertanyaan-pertanyaan klise yang diajukan di ruang tengah ketika lebaran itu adalah bentuk invasi ruang privat. Tapi tahu apa ibu saya soal ruang privat? Paman dan bibi saya? Mereka orang-orang sederhana yang tidak paham konsep-konsep besar peradaban modern. Berdebat dengan isi kepala yang tinggi tidak berguna di hadapan orang-orang ini.

Bertahun lalu, ketika saya merasa gagah dengan isi kepala saya, saya pernah bedebat tentang banyak hal. Tentang bahwa orang tua tak punya hak pada anak, kami ini mahluk merdeka, bahwa kami ini berhak menentukan nasib sendiri, bahwa kami tak harus tunduk pada peraturan, tata krama, dan nilai-nilai mereka. Bukan merasa hebat, saya hanya menyakiti orang orang yang saya cintai.

Ibu menangis. Saya tak pernah merasa seburuk itu dalam hidup. Buat apa ilmu tinggi jika hanya untuk menyakiti?

Saat bertanya mereka mungkin hanya penasaran. Bibi saya mungkin akan sibuk bertanya mengapa saya tidak juga menikah, padahal sudah mapan. Paman saya mungkin akan bertanya ada pekerjaan apa di Jakarta buat anaknya yang baru lulus SMK. Mengapa mesti menyakiti mereka dengan kata-kata kasar? Kamu tidak pernah tua, tapi mereka pernah muda, kebijaksanaanmu barangkali tidak ada seujung jembut mereka.

Oh tentu ada saudara brengsek. Yang gemar bergunjing, menyindir, dan memaki. Kemudian yang jadi pertanyaan, perlukah berinteraksi dengan mereka? Jika tidak mengapa merusak hari raya dengan menghadapi kemurungan? Perlukah merusak hubungan hanya karena sebuah pertanyaan? Kalian punya pilihan, menjawab dengan baik, atau bahkan tidak perlu dibahas sama sekali.

Tapi saya tahu, ada orang-orang baik yang bertanya dengan perasaan kasih sayang tulus soal kapan saya menikah. Saya tidak perlu unjuk bagasi kepala dengan congkak hanya untuk menjawab itu. Untuk ibu, bu supik, adik, dan saudara-saudara yang saya sayang. Saya akan menjawab dengan pelukan. Sambil berbisik.

"Nanti, kalau sudah move on."

April 05, 2016

Fahri Hamzah: Jika Kita Terpaksa Pergi Aku Akan Menjadi yang Terakhir

Tuesday, April 05, 2016 Posted by Wyldstallyons , , , , No comments

Fahri Hamzah - malam ini, kisah ku mengguncang mu..
kau merasa kita seperti akan berpisah..

kau mendengar seolah aku akan pergi
dan tak akan pernah kembali..

aku melihatmu terpukul.. bersedih..
kata-kata mu tertahan.. terbata-bata..

kau seperti sulit mengungkap perasaan..
bulir-bulir hangat itu mulai mengalir..

aku ingin menenangkanmu sahabat…
jangan bersedih.. lerai airmatamu..

aku ingin mencintaimu tetap seperti dulu..
seperti pelepah dan bulir-bulir..
seperti embun dan ilalang pagi yang dingin..

kau bertanya,
inikah takdir kita dan di sinikah ia berakhir?

aku jawab, tidak..
inilah perjalanan kita dan ia akan terus mengisi hari-hari..

perjalanan kita kaya, perjalanan kita penuh romantika..
aku takkan lupa di mana kau berada.. pada hari ia bermula..

kita disebut ikhwan muda, dan kita duduk bersama..
dalam halaqah kita.. di halaman kampus kita.

kita menghafal alquran..
kita mendalami sunnah dan kehidupan tauladan..

kita mendengar dan bertukar fikiran..
atas risalah akhir zaman.

kita membaca tanda-tanda zaman..
kita membahas dialektika kehidupan..
teori sosial dan sastra perubahan..

hingga ia dianggap sempurna menjadi bekalan..
dan kita terjun ke lapangan..

kini kita telah jauh.. berada di sini..
setelah setahap kesempurnaan..

kita memulai, kita meniti..
kita terus belajar menjadi insan..
menjadi yang datang untuk perbaikan..

maka aku tidak maksudkan ini..
kecuali untuk perbaikan..

jangan bersedih sahabat..
jangan takut dengan jarak..
dunia ini bulat..

perputaran adalah hukum alam yang bergantian..
ditiup angin.. diseret arus pasang..

aku berjanji takkan pergi..
jika kita terpaksa pergi, aku akan menjadi yang terakhir..

aku akan bertahan..
ini rumah ku.. ini rumahmu.. ini rumah kita..

seberapa kuat aku akan menjaga ini semua.. sekuat kau.. sekuat kita semua..

tetapi ini bukan sengketa..
ini cinta.. inilah cara kita saling menjaga..

tetapi jika ia adalah benci..
terbakarlah kita semua jadi debu..

aku berlindung kepada Allah dari benci yang membakar hati..
aku tidak punya kehendak lain kecuali kebaikan dan perbaikan..

hanya itu..
bersabarlah kawanku.. aku mendoakanmu..

@Fahrihamzah, Senin malam (4/4/2016)

(sumber)

Dahnil Anzar Simanjuntak: Opini Kepolisian tidak Didasari Pemahaman Hukum yang Baik (Kasus Siyono)

Tuesday, April 05, 2016 Posted by Wyldstallyons , , , , No comments

Dahnil Anzar Simanjuntak - Brigjen Agus Rianto mengatakan di Harian Republika, Senin 4/04/16 Hal 9, Bahwa;
"Pertama. Polri telah melaksanakan autopsi dan hasilnya menunjukkan Siyono meninggal Karena Luka akibat benturan di Kepala.

"Kedua. Brigjen Agus menyebutkan Bahwa Luka itu Timbul Karena Siyono melakukan perlawanan terhadap anggota Densus 88 saat didalam mobil"

"Ketiga. selama ini Polri sudah melaksanakan penanganan Siyono sesuai Prosesur hukum, tidak Ada yang ditutup-tutupi. Polri sudah menjelaskan semua. jadi, Masyarakat jangan sampai membuat-buat Opini."

Saya ingin menjawab pernyataan tersebut diatas;

Pertama. Menurut 9 Dokter Tim Forensik Muhammadiyah dan 1 Dokter Forensik yg diutus Polda. Kondisi Jenazah menunjukkan Bahwa Jenazah Siyono belum pernah dilakukan otopsi sama sekali. Jadi, fakta ilmiah outopsi menunjukkan tdk Ada tanda-tanda Jenazah pernah dilakukan otopsi (Seperti dijelaskan Dokter Gatot, Ketua Tim Forensik yg juga didampingi Dokter forensik dari Polda pada saat konpress didepan Rumah bu Suratmi setelah proses otopsi selesai). Kami tidak paham otopsi macam apa yang dilakukan Polisi Versi Brigjen agus, yang menyatakan Bahwa kematian Siyono disebabkan Karena benturan dikepala. Padahal, 9 Tim Forensik Muhammadiyah ditambah 1 orang Dokter dari Polri, menemukan patah Tulang dibeberapa bagian tubuh Seperti dada dan bagian lain yang diakibatkan benda tumpul, tapi Karena tingginya Etika dan profesionalitas ketika ditanya wartawan Apakah itu penyebab kematian Siyono, Dokter Gatot menyatakan belum kami simpulkan menunggu Uji Mikroskopis atau Uji Lab, dan Akan disampaikan nanti setelah Uji lab.

Kedua. Berkaitan Bahwa Luka diperoleh Karena Siyono melakukan perlawanan, Dokter Forensik Muhammadiyah telah menemukan faktanya, dan Akan menyampaikan secara lengkap setelah Uji Laboratorium.

Ketiga. Justru dari keterangan diatas kelihatan Brigjen Agus atas Nama kepolisian yang beropini tidak didasari pemahaman hukum yang baik, merujuk kepada keterangan Siane Indriani, Anggota Komnas HAM ketika kami berdebat dengan Kapolres dilokasi TKP, Komnas HAM yang meminta Muhammadiyah Untuk membantu mengungkap fakta ini punya hak penyelidikan,(UU 39/99 pasal 89 ayat 3 Untuk melaksanakan fungsi komnas ham dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 komnas ham bertugas dan berwenang melakukan butir (b) penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia.),

artinya sampai pada proses pencairan fakta melalui otopsi, nah apa yang dilakukan Muhammadiyah melalui outopsi atas permintaan Komnas HAM bukan opini tetapi berusaha menemukan fakta melalui Usaha ilmiah, justru Polri yang berusaha membangun opini Tanpa dasar pijakan ilmiah Seperti bisa menyebut kematian Siyono akibat benturan dikepala Padahal fakta ilmiah menunjukkan tdk pernah Ada otopsi sebelumnya Seperti yang disampaikan Dokter Gatot yang tidak dibantah oleh Dokter forensik dari Polri sendiri.

Mari kita Bantu Polisi menjadi lebih Profesional dan menghargai hukum dan melindungi hak hidup warga negaranya siapa pun Mereka. Ini saatnya kita Bantu Polisi berubah menjadi lebih baik melalui membantu Bu Suratmi istri Almarhum Siyono mencari keadilan.

Terimakasih
Dahnil Anzar Simanjuntak